Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Khataman Tafsir Al-Ibriz
Gus Mus Buat Kitab “Salah Kaprah”
TAUSIAH: KH Mustofa Bisri (Gus Mus), putra KH Bisri Mustofa,
penulis kitab tafsir Al-Ibriz memberikan tausiah dalam khataman kitab
tafsir Al-Ibriz di Pesantren Al-Itqon, Bugen, Tlogosari Wetan, Pedurungan Semarang.(64) SM/Agus Fathuddin
“MASYA Allah, luar biasa,” demikian decak kagum menyaksikan lautan
manusia yang mengikuti khataman Kitab Tafsir Al-Ibriz, Minggu pagi kemarin. Betapa tidak, sekitar 15.000 orang bertahan duduk tujuh jam lebih mulai pukul 05.00 hingga pukul 12.00 di halaman Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Tlogosari Wetan, Kecamatan Pedurungan, Semarang.
Mereka datang dari berbagai daerah di Jateng duduk lesehan dengan alas seadanya.Tak ada satu pun yang bergeming mendengarkan tausiah dari tiga kiai top, yaitu KH Abdullah Kafabihi putra pendiri Pondok Lirboyo, Kediri Jatim; KH Maemun Zubair, pengasuh Pesantren Al-Anwar, Sarang, Lasem, Rembang; dan putra penulis Kitab Al-Ibriz KH Bisri Mustofa yang juga pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, KHA Mustofa Bisri. Yang beruntung datang paling awal bisa duduk dekat podium beralaskan karpet dan tikar. Tetapi yang datang belakangan, ada yang beralaskan kardus, koran bekas, dan tikar yang sengaja mereka bawa sendiri dari rumah. Karena takut tak kebagian tempat, banyak yang sehari sebelumnya menginap di masjid dan ruang kelas di kompleks pondok. “Kami memang menyiapkan 15.000 nasi bungkus dengan lauk ayam goreng. Alhamdulillah semuanya habis, bahkan beberapa tidak kebagian. Karena itu, kami mohon maaf,” kata KH Ubaedulloh Shodaqoh SH, adik kandung KH Ahmad Kharis Shodaqoh, pengasuh pesantren itu.
Usai shalat subuh, Kiai Kharis seperti yang biasa dilakukan Minggu pagi langsung membaca lima surat terakhir dari Juz 30 Alquran, yaitu An Nashr, Al Lahab, Al Ikhlas,Al Falaq, dan An Nas lengkap dengan doa khatmil Qurannya. Ribuan orang yang sebagian besar orang-orang tua dengan tekun menyimak kitab tafsir Al-Ibriz yang mereka bawa dari rumah. Saking padat orang yang datang, Kiai Maemun, Gus Mus, Gus Kafabihi, dan rombongan pengurus PWNU Jateng yang dipimpin ketuanya, Drs H Moh Adnan MA, kesulitan memasuki tempat upacara. Baru setelah dikawal oleh santri-santri senior, mereka bisa sampai di tempat acara. Antara kiai-kiai tamu undangan dan jamaah tidak ada jarak lagi sehingga mereka duduk berimpit-impitan. “Biarlah, rupanya para santri ingin dekat secara fisik dengan para kiai,” kata Kiai Kharis.
12 Tahun
Kiai Kharis dalam sambutannya mengatakan, kitab tafsir Al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa bisa dikhatamkan 12 tahun lamanya, 10 tahun, 5 tahun, bahkan satu tahun.
“Kami sengaja memilih membacanya ayat demi ayat selama 12 tahun supaya jamaah bisa memahami. Kami tidak mengejar jumlah yang banyak, tetapi sedikit asal manfaat,” katanya. Mengapa yang dikaji Al-Ibriz, bukan Jalalain, Munir, Ibnu Katsir, dan kitab-kitab tafsir lainnya? “Karena jamaah orang dusun dan kampung butuh tafsir dengan bahasa apa adanya, bukan bahasa sasi-sasi yang tidak bisa mereka pahami,” tuturnya, disambut tawa hadirin.
Gus Mus yang kebagian paling akhir memberi tausiah kepada jamaah
mengatakan, dalam waktu dekat segera membuat Kitab “Salah Kaprah”. Saat ini dia mengaku sudah mengumpulkan 23 salah kaprah yang dilakukan oleh umat Islam. “Memang akan saya terbitkan setelah dapat 50 salah kaprah. Tetapi banyak yang minta gak usah nunggu 50, cukup 30 saja segera diterbitkan,” katanya. Kiai yang budayawan itu mencontohkan beberapa salah kaprah yang dilakukan umat Islam, antara lain, kiainya berjalan ngulon (ke arah barat), orang Islam malah ngetan (ke arah timur). Contoh yang lain, umat Islam bangun masjid dan mushala mewah dengan corong speaker yang berlebihan, tetapi ternyata tidak ada yang jamaah shalat di situ.
Kritik MUI
Gus Mus secara terang-terangan sempat mengkritik Majelis Ulama
Indonesia. “Daripada MUI repot-repot ngurusi label halal-haram, lebih baik bikin survei berapa banyak orang Islam yang membaca Alquran, berapa banyak yang mengaji Quran dengan maknanya, berapa yang mengajar Alqutan, dan sebagainya,” katanya.
Dari hasil survei tersebut, papar dia, akan menjawab banyak persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Menurut Gus Mus, kitab karangan ayahnya tidak hanya dibaca orang Indonesia, tetapi juga Malaysia, Singapura, bahkan sampai ke Suriname.
“Ada yang lucu. Suatu hari saya kedatangan tamu dari Johor Malaysia. Dia adalah mubalig yang biasa ngaji di masjid-masjid. Setiap mengaji dia selalu membawa kitab tafsir Al-Ibriz. Mbok kitab itu di-Indonesia-kan atau di-Melayu-kan bahasanya?” katanya. Gus Mus menyanggupi akan menerjemahkan kitab tafsir berbahasa Jawa itu seperti permintaan tamunya. “Tapi sampai sekarang bismillah saja belum mulai,” tuturnya, disambut tawa hadirin.
“Lo ternyata Bisri Mustofa masih muda. Ketika menyusun Al-Ibriz. Anda umur berapa?” tutur Gus Mus menirukan pertanyaan tamunya. “Orang ini mesti keliru. Yang menyusun itu ayah saya, Bisri Mustofa. Saya anaknya, Mustofa Bisri. Ketika kitab disusun, saya masih remaja,” katanya, sambil tertawa.
Dia juga memaparkan kisah KH Ali Ma’shum, mantan Rois Aam PBNU dari
Pesantren Krapyak Yogyakarta. “Suatu hari Kiai Ali Ma’shum datang ke
Rembang sambil bertanya. Kalau dari segi ilmu nahwu aku (KH Ali Ma’shum) lebih alim. Tapi kenapa sampean bisa nulis kitab tiap bulan? Aku nulis baru sepertiga saja tidak selesai,” katanya. Kiai Bisri Mustofa waktu itu langsung menjawab, “Lo sampean nulis lillahi taala. Kalau saya nulis karena duit. Kalau tidak nulis ya kendilnya njomplang.” “Kalau kitabnya sudah jadi, mau diserahkan penerbit, baru niatnya yang mulia supaya ilmunya manfaat, yang membaca dapat berkah dan seterusnya,” tuturnya.
Ada Keanehan
Gus Mus memaparkan ada keanehan berkaitan dengan Kitab Al-Ibriz.
“Ketika 40 hari wafatnya KH Bisri Mustofa Bisri, datang seorang tamu dari Cirebon. Apa Anda Mustofa Bisri? Saya jawab ya. Saya baru bertemu bapakmu supaya meneliti Kitab Al-Ibriz Surat Al-Fath Ayat 24,” paparnya.
Dia menjadi kebingungan. “Lo bapak saya sudah wafat. Kok ada tamu
datang bilang ketemu Bapak?” paparnya. Gus Mus lalu segera datang ke
Percetakan Menara Kudus. Betul setelah dicek, ternyata di sana tertulis
“Wahuwalladzi kaffa aidiyahum ‘alaikum”. Padahal, seharusnya yang betul tulisannya,
“Wahuwalladzi kaffa aidiyahum ‘ankum”,
bukan “‘alaikum”. Tafsir Al-Ibriz itu sudah ditaskhih oleh KH Arwani Kudus, KH Abu Bakar, dan KH Syakroni Ahmadi. “Kiai Syakroni waktu itu bilang mimpi ditemui KH Bisri Mustofa untuk membetulkan kesalahan itu. Jadi, sebelum saya tiba di percetakan, Kiai Syakroni juga sudah datang karena mendapat mimpi itu,” tutur Gus Mus. Di akhir tausiah, dia mengajak jamaah berdoa, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia dan Jawa. Dan jam sudah menunjukkan pukul 12.15 sebagai akhir perhelatan akbar itu.(Agus Fathuddin Yusuf-64t)
Sumber:
Suara Merdeka